KONSEP DASAR PENYAKIT
A.
DEFINISI
Apendiks adalah organ
tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat di bawah katup
ileosekal. Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada dinding abdomen di
bawah titik McBurney (yang terletak di pertengahan antara umbilikus dan spina
anterior dari ilium). Karena apendiks mengosongkan diri dengan tidak efisien
dan lumennya kecil, maka apendiks mudah mengalami obstruksi dan rentan terhadap
infeksi. Appendisitis adalah peradangan pada usus buntu (appendiks), atau
radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara akut. (Brunner dan
Sudarth, 2002 hal 1097)
Apendiksitis adalah
peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
(Mansjoer,2000).
Apendiksitis adalah
inflamasi apendiks, suatu bagian seperti kantung yang non-fungsional terletak
dibagian interior sekum ( Ester Monica , 2002 : 63)
Apendiksitis adalah
radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak
pada bagian inferior dzri sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis
adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan
mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
Apendiksitis merupakan
penyakit prototip yang berlanjut melalui peradangan, obstruksi dan iskemia di
dalam jangka waktu bervariasi (Sabiston, 1995).
Apendiksitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
Apendisitis merupakan
penyakit bedah sebagai akibat kebudayaan, terutama yang menyangkut kebiasaan
makan. Apendisitis terletak pada cecum di ujung tenia (pita otot). Panjang
pendeknya usus buntu itu berpengaruh terhadap terjadinya peradangan. Ujung usus
buntu dapat terletak pada semua arah caecum misalnya dapat sampai ke panggul,
ke sakrum atau melilit ke usus halus. Letak yang paling banyak ditemui adalah
retrocaecal (di belakang cecum). Apendisitis lebih banyak menyerang laki-laki
daripada wanita ( Oswari E. , 2005 : 212).
Apendisitis ialah
penyakit tersering yang memerlukan pembedahan darurat. Sekitar 1 dari 15 orang
(7 %) mengalami apendisitis. Insidensi puncak adalah usia 12 tahun, penyakit
ini jarang sebelum usia 2 tahun. Laki-laki mengalahkan perempuan 25. pada
sepertiga kasus, ruptur apendiks sebelum operasi dan menyebabkan penyakit
serius ( Rudolph Abraham M., 2007 : 1219).
B.
EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis
akut lebih tinggi pada negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. Namun
dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100
kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini
mungkin disebabkan oleh perubahan pola makan. Menurut data epidemiologi
apendisitis akut jarang terjadi pada balita, sedangkan meningkat pada pubertas,
dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal usia 20-an, dan angka ini
menurun pada usia menjelang dewasa. Insiden apendisitis memiliki rasio yang
sama antara wanita dan laki-laki pada masa prapubertas. Sedangkan pada masa
remaja dan dewasa muda rasionya menjadi 3:2.
Pada anak-anak dan
dewasa muda terinfeksi sistemik seperti infeksi pernapasan dapat menyebabkan
hyperplasia jaringan limfoid pada appendiks dimana respon hiperplastik dapat
melibatkan lumen appendiks dan mulai terjadi appendicitis. Rata-rata insiden
yaitu 1-2 per 1000 dengan dewasa muda antara 20-30 tahun. Namun demikian
apendisitis dapat menyerang semua kelompok termasuk lanjut usia. (Doughty, D.
B. et al. (1993).
C.
ETIOLOGI
Penyebab paling umum
dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses, yang akhirnya merusak
suplai darah dan merobek mukosa yang menyebabkan inflamasi (Ester Monica, 2002
: 63).
Lumen yang biasanya
oleh fekal dan merangsang mengeluarkan sekret mukus yang mengakibatkan
pembengkakan. Penyebab apendisitis juga bisa terjadi karena tumor, cacing,
virus dan bakteri yang masuk ke apendik dan menyebabkan apendik membengkak
karena mukus yang banyak keluar.
Dari penjelasan para
ahli di atas sebab-sebab apendisitis adalah :
·
Obstruksi lumen oleh
feses
·
Fekalit dalam lumen
appendik
·
Tumor
·
Cacing
·
Virus atau bakteri
Sedangkan menurut
Oswari E (2005 : 211) penyebab apendisitis belum diketahui secara pasti. Kuman
yang sering ditemukan dalam apendiks belum diketahui secara pasti. Lumen yang
sering ditemukan dalam apendiks ditemukan dalam apendiks yang meradang adalah
E. Coli dan streptococus.
Etiologi appendisitis
menurut Inayah Iin (2004 : 196) adalah :
·
Diet kurang serat
·
Batu
·
Tumor
·
Cacing atau parasit
·
Infeksi usus
·
Benda asing
Apendisitis merupakan
infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat:
1.
Hiperplasia dari folikel limfoid
2.
Adanya fekalit dalam lumen appendiks
3.
Tumor appendiks
4.
Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5.
Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Penyebabnya hampir
selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang
mengeras), parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing, karsinoid, jaringan
parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).
D.
PATOFISIOLOGI
Apendiksitis biasa
disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan
menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah
fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Bila apendiks tersumbat, tekanan
intraluminal meningkat, menimbulkan penurunan drainase vena, trombosis, edema,
dan invasi bakteri dinding usus. Bila obstruksi berlanjut, apendiks menjadi
semakin hiperemik, hangat dan tertutup eksudat yang seterusnya menjadi gangren
dan perforasi. (Ester Monika, 2002 : 63). Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulserasi
mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan
obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga
peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan
nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri
terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren.
Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka
akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Bila proses berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga
muncul infiltrat appendikkularis.
Pada anak-anak karena
omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk
terjadi perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan
pembuluh darah.
E.
KLASIFIKASI
Appendisitis dapat
dibagi atas dua bagian yaitu.
a. Apendisitis
Akut : jarang ditemui pada anak dibawah 5 tahun dan orang tua diatas 50 tahun.
Apendicitis akut dapat dibagi atas tiga bagian :
1. Apendicitis
acut focalik atau segmentalis
Terjadi pada bagian
distal yang meradang seluruh rongga apendiks sepertiga distal berisi nanah.
2. Apendicitis
acut purulenta diffusa
Pembentukan nanah yang
berlebihan jika radangnya lebih hebat dan dapat terjadi mikrosis dan pembusukan
yang disebut appendicitis gangrenous. Pada appendicitis gangrenous dapat
terjadi perfulasi akibat mikrosis kedalam rongga perut dan mengakibatkan
peritonitis.
3. Apendicitis
acut traumatic.
Disebabkan oleh karena
trauma karena kecelakaan pada operasi didapatkan tampak lapisan eksudat dalam
rongga maupun permukaan.
b. Appendisitis kronik.
Appendicitis
kronik dibagi atas dua bagian antara lain :
1. Appendicitis
cronik focalis
Secara mikroskopis
nampak fibrosis setempat yang melingkar, sehingga dapat menyebabkan stenosis.
2. Appendicitis
cronik obliterative
Terjadi fibrosis yang
luas sepanjang appendiks pada jaringan sub mukosa dan sub serosa, sehingga
terjadi obliterasi (hilangnya lumen) terutama dibagian distal dengan
menghilangnya selaput lender pada bagian tersebut
F.
MANIFESTASI
KLINIS
Menurut Betz, Cecily,
2000 :
·
Sakit, kram di daerah
periumbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah
·
Anoreksia
·
Mual
·
Muntah,(tanda awal yang
umum, kuramg umum pada anak yang lebih besar).
·
Demam ringan di awal
penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.
·
Nyeri lepas.
·
Bising usus menurun
atau tidak ada sama sekali.
·
Konstipasi.
·
Diare.
·
Disuria.
·
Iritabilitas.
·
Gejala berkembang
cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala
pertama.
Manifestasi klinis
menurut Mansjoer, 2000 :
Keluhan apendiks
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan denghan
pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal.
Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan
obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki
gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang
hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut
sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah
beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah.
Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika
penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai
37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan
anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua
dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri
tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa
menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
Pada kasus appendisitis
akut yang klasik, gejala-gejala permulaan antara lain :
a. Rasa
nyeri atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus ( nyeri tumpul). Beberapa
jam kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin terdapat
nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga
pada saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang mengakibatkan badan
akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang dirasakan
tergantung juga pada letak appendiks, apakah di rongga panggul atau menempel di
kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat. Nyeri perut juga
akan dirasakan bertambah oleh penderita bila bergerak, bernapas dalam,
berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat batuk dapat terjadi karena
peningkatan tekanan intra-abdomen.
b. Muntah,
mual ,dan tidak ada nafas umakan. Secara umum setiap radang yang terjadi pada
sistem saluran cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai muntah. Meskipun
pada kasus appendicitis ini, tidak ditemukan mekanisme pasti mengapa dapat
merangsang timbulnya muntah.
c. Demam
ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan penderita umumnya merasa sangat lelah.
Proses
peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam, terutama jika
kausalnya adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh lapisan
dinding appendiks. Demam ini muncul jika radang tidak segera mendapat
pengobatan yang tepat.
d. Diare
atau konstipasi. Peradangan pada appendiks dapat merangsang peningkatan
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri
akan dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis
usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan
peristaltik. Selain itu, appendicitis dapat juga terjadi karena adanya feses
yang keras (fekolit). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada
beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih parah.
G.
KOMPLIKASI
Menurut Hartman,
dikutip dari Nelson, 1994 :
·
Perforasi.
·
Peritonitis.
·
Infeksi luka.
·
Abses intra abdomen.
·
Obstruksi intestinum.
Menurut Mansjoer, 2000
:
Apendiksitis adalah
penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman
untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi
meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah
dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum
atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama kali datang, diagnosis
dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi
peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup
asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam
posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit,
pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi
anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses
apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung
ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik
(misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan
ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu
kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase.
Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi
positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis
supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang
letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil,
hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini
diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain
yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain.
Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
H.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz
(2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
·
Pemeriksaan Fisik
-
Meliputi pemeriksaan
pada sistem kardiovaskuler, hematologi, muskuloskeletal, imunologi dan
urogenital.
-
Inspeksi : pada
apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
-
Palpasi : pada daerah
perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas
juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis
dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada
perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
-
Pemeriksaan colok
dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
-
Pemeriksaan uji psoas
dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak
apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
·
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan
radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis
akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan
gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya
udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan perforasi
ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
1. Pemeriksaan
foto abdomen
Saat dilakukan
pemeriksaan sinar-X abdomen, kurang dari 25% kasus akan memperlihatkan fekalit
yang berkalsifikasi. Hasil pemeriksaan
sinar-X lain yang didapatkan meskipun tidak spesifik antara lain penurunan pola
gas, batas udara-cairan, pengaburan bayangan psoas, obliterasi tanda bantalan
lemak, dan lengkungan skoliotik kea rah kanan. (Schwartz, 2004)
2. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ini
dapat ditemukan fekalit tidak berkalsifikasi, apendiks tidak berperforasi,
serta abses apendiks (Sowden, 2009)
·
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih dari 13000/mm3
umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis tidak
menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri.
Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit
lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada
apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi.
Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada
ginjal.
a. Hitung
darah lengkap (complete blood count, CBC)
Biasanya ditemukan
leukositosis (lebih dari 10.000 sel darah putih per mm3) dengan pergeseran ke
kiri jika apendiks menjadi ganggrenosa atau ruptur
b. Urinalisis
Pemeriksaan ini
dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih, dan adanya keton
digunakan sebagai penanda penyakit
I.
PENATALAKSANAAN
Pada apendisitis akut,
pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus
dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan
antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi
perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
1. Tindakan
pre operatif
Dalam
8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan
bila dicurigai adanya apendisitis ataupun peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
2. Tindakan
operatif; apendektomi
3. Tindakan
post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri
tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang. Perlu
dilakukan observasi tanda-tanda vital untuki mengetahui terjadinya pendarahan
di dalam, syok, hipertermia, atau gannguan pernafasan. Angkat sonde lambung
bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Selama itu pasien di puasakan. Bila tindakan operasi lebih
besar, misalnya dalam perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai
fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5jam
lalu naikkan 30ml/ja. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan
untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien
dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jaritan dapat diangkat dan
pasien diperbolehkan pulang.
4. Penatalaksanaan
gawat darurat non-operasi
Bila
tidak ada fasilitas bedah berikan penatalaksanaan bedah dalam peritonitis akut.
Dengan demikian gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi dapat berkurang.
J.
KRITERIA
DIAGNOSA
Diagnosis apendisitis akut biasanya
berdasarkan gejala klinis dan tes laboratorium. Diagnosis ditegakkan
bila memenuhi:
1.
Gambaran klinis yang
mengarah ke appendicitis seperti Nyeri
di sekitar umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun),
nausea, dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke
kanan bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan
2.
Demam lebih dari 37,50C
3.
Laboratorium :
lekositosis yaitu lekosit > 10.000
/dl biasanya pada perforasi terdapat
pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
4.
USG yang mungkin di
temukan pada pemeriksaan ini :
·
Lampiran buncit berisi
cairan dengan diameter lebih dari 5 mm
·
Ketebalan dinding 3 mm
atau lebih besar
·
Tidak adanya gerak
peristaltik dan noncompressibility usus buntu
·
Perubahan pericaecal.
·
Massa pada appendix
5.
Laporoskopi biasanya
digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan apendiktomi
pada wanita muda.
6.
CT scan : dilakukan
jika di duga terdapat perforasi atau pembentukan abses karena akan memberikan
karakteristik yang yang tepat terhadap massa inflamasi, luas dan lokasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar