Minggu, 15 April 2012

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan GASTROESOPHAGEALREFLUX DISEASE (GERD)


KONSEP DASAR PENYAKIT GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)
1.  

 DEFINISI
1)      Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan asam lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi perut mengalir kembali menuju kerongkongan (esophageal sphincter bagian bawah) tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
2)      GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan komplikasi.
3)      Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.

2.   EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal reflux didapatkan pada 45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal, refluksesfagopulmoner dan bat relaksan otot polos yaitu golongan betha adrenergik, aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esfagus. Pada Bayi  mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300 hingga 1:1000. Gastroesofagus refluks paling banyak terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, Pada umur 6 – 7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21%. Hanya 5% bayi berumur 12 bulan yang masih mengalami GERD.


3.   ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1)      Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2)      Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3)      Ketahanan epitel esophagus menurun
4)      Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin, garam empedu, HCl
5)      Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6)      Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7)      Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8)      Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9)      Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10)  Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
11)  Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

  1. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya LES, penggunaan obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan penurunan tonus LES dan terjadi relaksasi abnormal LES sehingga timbul GERD. Hiatus hernia juga menyebabkan bagian dari lambung atas yang terhubung dengan esophagus akan mendorong ke atas melalui diafragma sehingga terjadi penurunan tekanan penghambat refluks dan timbul GERD. Selain itu, GERD juga terjadi karena penurunan peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk mendorong asam refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES dimana terjadi penurunan kemampuan mencegah refluks, penurunan pengosongan lambung dimana terjadi memperlambat distensi lambung, dan infeksi H. Pilory dan korpus pedominas gastritis. GERD dapat menimbulkan perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks mengakibatkan nyeri akut. Selain itu GRED menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel yang melapisi esophagus sehingga terjadi nyeri akut, gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas tidak efektif.  Gangguan nervus yang mengatur pernafasan juga disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola nafas tidak efektif. Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk ke laring dan tenggorokan, terjadi resiko aspirasi dan jika teraspirasi maka timbul masalah bersihan jalan nafas tidak efektif. GERD dapat menyebabkan refluks asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul odinofagia, merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pada mulut, aliran balik dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan timbul ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a.   Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b.  Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c.   Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

a.   Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
b.  Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
c.   Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
    • Membran sel
    • Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
    • Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
    • Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

5.   KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan
Gambaran endoskopi
A
Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan
C
Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D
Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus)


6.   MANIFESTASI KLINIS
1)      Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2)      Muntah
3)      Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika berbaring
4)      Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5)      Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
6)      Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran udara
7)      Suara parau
8)      Ludah berlebihan (water brash)
9)      Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10)  Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11)  Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12)  Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13)  Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

7.   PEMERIKSAAN PENUNJANG
1)      Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

2)      Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3)      Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4)      Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5)      Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter

  1. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a)      Klien tampak muntah
b)      Klien tampak lemah
c)      Klien tampak batuk-batuk
d)     Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a)      Suara terdengar serak
b)      Bising usus <12 detik per menit
c)      Suara jantung S1/S2 reguler

  1. THERAPI/TINDAKAN PENANGANAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1.      Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
2.      Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD :
·         Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
·         Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
·         Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
·         Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
·         Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
·         Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
·         Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
·         Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

10.    KOMPLIKASI
1)      Erosif  esofagus
2)      Esofagus barrett’s
3)      Striktur esofagus
4)      Gagal tumbuh (failur to thrive)
5)      Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6)      Aspirasi

11.    PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus.







KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
1.         PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien.
a.       Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.
b.      Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
ü  Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
ü  Pulse rate
ü  Respiratory rate
ü  Suhu
c.       Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah menderita penyakit paru yang dapat menjadi predisposisi GERD.
d.      Pola Fungsi Keperawatan
1.      Aktivitas dan istirahat
            Data Subyektif:
·         Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar. 
            Data obyektif :
·         Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
·         Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2.      Sirkulasi
Data Subyektif:
·         Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
·         Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC)
·         Kadar WBC meningkat.
3.      Eliminasi
Data Subyektif:
·         Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif
·         Bising usus menurun (<12x/menit)
4.      Makan/ minum
Data Subyektif:
·         Klien mengatakan mengalami mual muntah.
·         Klien mengatakan tidak nafsu makan.
·         Klien mengatakan susah menelan.
·         Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
·         Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5.      Sensori neural
Data Subyektif:
·         Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
            Data obyektif:
·         Status mental baik.
6.      Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
·         Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P    : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh 
        cairan refluks.
Q   : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R   : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S    : klien mengatakan skala nyeri 1-10. 
T    : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
·         Klien tampak meringis kesakitan.
·         Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
·         Tekanan darah klien meningkat
·         Klien tampak gelisah
7.      Respirasi
Data Subyektif :
·         Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
·         Klien mengatakan mengalami batuk
            Data obyektif:
·         Terlihat ada sesak napas.
·         Terdapat penggunaan otot bantu napas.
·         Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30-40 x/mnt dan pada anak-anak > 20-26 x/menit..
·         Klien terlihat batuk.
8.      Keamanan
Data Subyektif :
·         Klien mengatakan merasa cemas
            Data obyektif:
·         Klien tampak gelisah
9.      Interaksi sosial
            Data Subyektif:
·         Klien mengatakan suaranya serak
·         Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
·         Suara klien terdengar serak
·         Suara klien tidak terdengar jelas.

e.       Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Ø  Klien tampak muntah
Ø  Klien tampak lemah
Ø  Klien tampak batuk-batuk
Ø  Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
Ø    Suara terdengar serak
a.       Bising usus menurun <12x/menit
b.      Suara jantung S1/S2 reguler

f.       Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
1.      Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).
2.      Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3.      Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

2.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ditandai dengan klien melaporkan nyeri secara verbal, klien tampak meringis kesakitan, tampak gelisah,  klien tampak nyeri,klien memegangi bagian yang nyeri.
2.      Risiko aspirasi  berhubungan dengan gangguan menelan, penurunan refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
3.      Gangguan Menelan berhubungan dengan reflux disease ditandai dengan terlihat bukti kesulitan dalam menelan.
4.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan klien menghindari makan, kurang minat terhadap makanan, mengeluh gangguan sensasi rasa, pasien mual muntah


4. EVALUASI
1.      Klien melaporkan nyeri hilang, dapat dikontrol atau berkurang, klien mengatakan nyeri berkurang (skala nyeri 1-2), hilang (skala nyeri 0), atau dapat dikontrol, klien  tampak rileks, TTV dalam rentang normal ( RR pada bayi =30-40x/menit dan pada anak-anak = 20-26x/menit, nadi = 80-100 x/menit, suhu 36-37 derajat celcius, tekanan darah pada bayi = 70-90/50 mmHg dan pada anak-anak = 80-100/60 mmHg), Klien tampak tidak meringis kesakitan.
2.      Aspirasi tidak terjadi, klien tidak mengalami aspirasi.
3.      Gangguan menelan dapat teratasi, tidak teramati adanya kesulitan saat menelan, tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien, klien tidak tersedak setelah makan/minum.











DAFTAR PUSTAKA

  1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
  2. Gastroesophageal Reflux in Infants. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9746 Diakses tanggal 10 Juli 2007
  3. Gastroesophageal Reflux in Infants. http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerdinfant/index.htm Diakses tanggal 10 Juli 2007
  4. Gastroesophageal Reflux in Children and Adolescents http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm Diakses tanggal 10 Juli 2007
  5. Nanda international (2010). Nursing diagnosis; definition and classification 2009 – 2011. EGC, Jakarta
  6. Nursing interventions classification (NIC) edisi 4. Mosby. United states of America
  7. Nursing Outcomes classification (NOC) edisi 4. Mosby. United states of America

Tidak ada komentar:

Posting Komentar