A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Dispepsia
berasal dari bahasa Yunani, Dys berarti sulit dan Pepse berarti pencernaan
(N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan.
Dispepsia merupakan
kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut
bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000 hal
: 488).
Dyspepsia merupakan kumpulan
gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah,
rasa penuh, atau cepat kenyang, sendawa (Dharmika, 2001). Sedangkan menurut
Aziz (1997), sindrom dyspepsia merupakan kumpulan gejala yang sudah dikenal
sejak lama, terdiri dari rasa nyeri epigastrium, kembung, rasa penuh, serta
mual-mual.
Dyspepsia adalah suatu penyakit saluran
cerna yang disertai dengan nyeri ulu hati (epigastrium), mual, muntah, kembung,
rasa penuh atau rasa cepat kenyang dan sendawa.
Dispepsia sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu
(Kapita Selekta Kedokteran).
Dispepsia sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu
(Kapita Selekta Kedokteran).
Dapat disimpulkan dispepsia
merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan menandakan adanya penyakit system pencernaan.
2. Epidemiologi/Insiden
Berdasarkan
penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15 – 30 % orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di inggris dan skandinavia dilaporkan
angka prevalensinya berkisar 7 – 41 % tetapi hanya 10 – 20 % yang mencari
pertolongan medis. Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara 1 – 8 %
(Suryono S, et all, 2001 hal 154). Dan dispepsia cukup banyak dijumpai. Menurut
Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %. Sekitar 4
% penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Didaerah
asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai,
prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Kusmobroto H, 2003)
Penyakit
ini sering diderita oleh masyarakat karena penyakit ini berhubungan dengan :
·
Keadaan sosial ekonomi
masyarakat
·
Pola makan
·
Keadaan makanan
Dispepsia
merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat
populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter.
Dalam suatu penelitian mengenai dispepsia kronis yang belum diketahui
penyebabnya dengan bantuan endoskopi, ternyata sebagian besar adalah termasuk
Dispepsia Non Ulkus (DNU).
3. Etiologi/penyebab
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh
ulkus lambung atau penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas menuju
esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke dalam
lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti obat
anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia
belum dapat ditemukan.
Penyebab
dispepsia antara lain:
a.
Perubahan
pola makan
b.
Pengaruh
obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama
c.
Alkohol dan
nikotin rokok
d. Tumor atau kanker saluran pencernaan (Kanker
lambung)
e. Menelan
udara (aerofagi)
f. Regurgitasi
(alir balik, refluks) asam dari lambung
g. Iritasi
lambung (gastritis)
h. Ulkus
gastrikum atau ulkus duodenalis
i.
Peradangan kandung
empedu (kolesistitis)
j.
Intoleransi laktosa
(ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
k. Kelainan
gerakan usus
l.
Stress psikologis,
kecemasan, atau depresi
m. Infeksi
Helicobacter pylory
4. Patofisiologi
Perubahan pola
makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin
dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi
kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan
erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi
demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
5. Klasifikasi dispepsia
Dyspepsia
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Dispepsia
Organik
Terjadi apabila telah diketahui
adanya kelainan organik sebagai penyebab atau adanya kelainan sistemik yang
jelas, adanya kelainan organik sebagai penyebabnya Sindroma dispepsia organik
terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka)
lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, gastritis,
pankreatitis, kolesititis dan lain-lain.
2. Dispepsia
Non Organik (Dispepsia fungsional/non ulkus)
Dispepsia nonorganik atau dispepsia
fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya atau
tanpa didapat kelainan struktur/organik. Dispepsia fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
6. Manifestasi Klinis
a. nyeri perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas di dada dan perut
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas
keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1) Dispepsia
dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala:
a. Nyeri
epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri
hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri
saat lapar
d. Nyeri episodik
2)
Dispepsia dengan gejala seperti
dismotilitas, dengan gejala:
a. Mudah
kenyang
b. Perut
cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper
abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak
nyaman bertambah saat makan
3) Dispepsia
nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas) (Mansjoer, et al,
2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat
ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan
perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu
tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin
disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri, pada penderita yang lain, makan bisa
mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual,
sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama
lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau
disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka
penderita harus menjalani pemeriksaan.
7.
Pemeriksaan Fisik
A.
Keadaan umum
§ Kesadaran
§ Tanda-tanda
vital
B.
Kulit
§ Lesi,
tanda peradangan
§ Turgor
kulit baik, cepat kembali < 1 detik
§ Kelembaban
kulit
§ Gejala
cyanosis
C. Kepala
§ Warna
rambut dan distribusi
§ Kotoran
kulit kepala / ketombe
§
Bentuk simetris, tidak
terdapat adanya benjolan.
D. Penglihatan
§ Gerakan
bola mata, konjungtiva
§ Refleks
terhadap cahaya
§ Ada
atau tidaknya gangguan penglihatan (Visus).
E. Mulut
§
Mukosa bibir dan warna
lidah
§
Warna gusi
F. Dada / Pernafasan / Sirkulasi.
§
Bentuk dada dan
retraksi dinding dada
§
Fremitus vokal dextra
dan sinistra
§
Bunyi 1 dan 2 tunggal, ada
atau tidaknya terdengar bunyi nafas tambahan
G. Abdomen
§
Bentuk abdomen, kembung
§
Nyeri tekan daerah hipogastrik
kiri, teraba atau tidak pembesaran hati.
§
Bunyi timpany, kembung
§
Peningkatan bising usus
H. Ekstremitas atas & bawah
§
Akral hangat atau tidak,
bentuk tangan dextra dan sinistra, jumlah jari, ada atau tidaknya pembatasan gerak
ekstremitas atas
§
Bentuk kaki, tidak
terdapat gejala / tanda oedema, ada atau tidaknya pembatasan gerak ekstremitas
bawah
8. Pemeriksaan Diagnostik/penunjang
Berbagai macam
penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindrom
dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dan penyakit
disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan
penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan
jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, barium enema, endoskopi, USG, dan lain-lain.
- Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dyspepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung (Hadi, 2002). Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 (Vilano et al, cit Hadi, 2002).
2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak
menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu
dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda.
3. Barium enema untuk
memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan (Mansjoer, 2007).
- Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
- Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia) (Mansjoer, 2007). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin (Hadi, 2002). Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin (Vilano et al, cit Hadi, 2002). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah (Shirakabe cit Hadi, 2002). Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops (Hadi, 2002).
- Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam.
9.
Diagnosis
Untuk
menegakkan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang baik, pemeriksaan
fisik yang akurat disertai pemeriksan penunjang untuk mengeksklusikan penyakit
organik/struktural. Adanya keluhan tambahan yang mengancam (Alarm simptom)
seperti adanya penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan, perdarahan,
dugaan obstruksi SCBA, dll. Mengharuskan kita melakukan ekplorasi diagnosis
secepatnya. Untuk itu pemeriksaan esopagus troduodenoscopi memegang peranan
penting, disamping pemeriksaan radiologis, laboratorium, endoscope. (Esopagus,
gastroduodenoscopi, sidikan abdomen, monometri esopagus-gastroduodonum) waktu
pengusongan lambung, Dispepsia yang ditemukan setelah pemeriksaan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.
10. Penatalaksanaan Medik
a. Penatalaksanaan non farmakologis
1)
Menghindari
makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
2)
Menghindari
faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan,
nikotin rokok, dan stres
3)
Atur pola
makan
b. Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
Sampai saat ini
belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi
kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena proses patofisiologinya pun masih
belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan
antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah
terjadinya muntah).
Berdasarkan
Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema
penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga
ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan
penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan
dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
Ø Antasid
20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan
murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya
mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid
jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri.
Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
Ø Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja
obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja
sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung
sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
Ø Antagonis
reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan
untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang
termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin.
Ø Penghambat
pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Ø Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
Ø Golongan
prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini,
yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk
mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) (Mansjoer et al, 2007).
Ø Kadang
kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti-depresi dan cemas)
pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang
muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi (Sawaludin,
2005)
11. Komplikasi dispepsia
Komplikasi-komplikasi
dari penyakit-penyakit fungsional dari saluran pencernaan adalah relatif
terbatas. Karena gejala-gejala paling sering dibangkitkan (diprovokasi) oleh
makan, pasien-pasien yang merubah diet-diet mereka dan mengurangi pemasukan
kalori-kalori mereka mungkin kehilangan berat badan. Bagaimanapun, kehilangan
berat badan adalah tidak biasa pada penyakit-penyakit fungsional. Gejala-gejala
yang membangunkan pasien-pasien dari tidur juga kemungkinan disebabkan oleh penyakit-penyakit
bukan fungsional daripada fungsional.
Paling umum, penyakit-penyakit fungsional mengganggu kesenangan (hidup)
dan aktivitas-aktivitas harian pasien. Orang-orang yang mengembangkan mual atau nyeri setelah makan mungkin melewati
makan pagi atau makan siang. Pasien-pasien juga umumnya menghubungkan
gejala-gejala dengan makanan-makanan spesifik (contohnya, susu, lemak,
sayur-sayuran), pasien-pasien ini akan membatasi diet-diet mereka. Susu adalah
makanan yang paling umum yang dieliminasi (dihilangkan), seringkali secara
tidak perlu, dan ini dapat menjurus pada pemasukkan yang tidak memadai dari
kalsium dan osteoporosis.
12. Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat
berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung
secara tidak langsung (Ariyanto, 2007).
Berikut
ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah
timbulnya gangguan akibat dispepsia :
a.
Atur pola makan
seteratur mungkin.
b.
Hindari makanan
berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dan lain-lain).
(coklat, keju, dan lain-lain).
c.
Hindari makanan yang
menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon, semangka, dan
lain-lain).
d.
Hindari makanan yang
terlalu pedas.
e.
Hindari minuman dengan
kadar caffeine dan alkohol.
f.
Hindari obat yang
mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-inflammatory, misalnya yang
mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah
pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi
pada dinding lambung.
g.
Kelola stress psikologi
se-efisien mungkin.
h.
Jika anda perokok,
berhentilah merokok.
i.
Jika anda memiliki
gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
j.
Hindari faktor-faktor
yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak, terutama
makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum
olahraga.
k.
Pertahankan berat badan
sehat
l.
Olahraga teratur
(kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk mengurangi stress
dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
m. Ikuti
rekomendasi dokter mengenai pengobatan dispepsia, baik itu antasid, PPI,
penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas.
B.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri
perut, rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan
berkurang, rasa lekas kenyang, perut kembung, rasa panas di dada dan perut,
regurgitasi (keluar cairan dari lambung secar tiba-tiba). (Mansjoer A, 2000,
Hal. 488).
1)
Identitas pasien
2)
Riwayat penyakit
3)
Keluhan utama
Nyeri pada daerah epigastrium/ Ulu
hati disertai mual dan muntah, anorexia.nyeri pada kuadran sebelah kanan dan
kepala pusing.
4) Riwayat
penyakit sekarang
Keluhan nyeri pada kuadran sebelah
kanan atas dan bawah , mual dan muntah dan anorixia dirasakan pasien sejak
seminggu yang lalu , sudah di obati di Puskesmas tapi tidak ada perbaikan,
kerumah sakit H.Daman Huri Barabai, selama dirumah sakit klein mual dan muntah
kurang lebih 4 kali dan klein didiagnosa Dispepsia.
5) Riwayat
penyakit terdahulu
Klien tidak pernah menderita
penyakit menular seperti TBC juha tidak pernah hypertensi, Diabetis Melitus,
sedang riwayat penyakit keluarga klein menyatakan tidah ada yang menderita
penyakit seperti klein dan tidak ada penyakit TBC Juga hepertensi.
6) Pemeriksaan
fisik
7) Kebutuhan
fisik, psikologis, sosial, dan spiritual
8) Prosedur
diagnostik dan pengobatan
Daftar Pustaka
Brunner
& Suddart, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8
Vol. 2 Jakarta : EGC
Manjoer,
A, et al, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 3, Jakarta, Medika
aeusculapeus
Price
& Wilson, 1994, Patofisiologi, edisi
4, Jakarta, EGC
Herdman,
Heather. 2009-2011. Diagnosis Keperawatan
: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta
: EGC.
Dochterman,
Joanne McCloskey. 2000. Nursing
Interventions Classification. America : Mosby.
Swanson,
Elizabeth. 2004. Nursing Outcomes
Classification. America : Mosby.
http://www.totalkesehatananda.com/dyspepsia10.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar